Headlines News :

NYAI RATU KIDUL DARI SUDUT POLITIK

BAGIAN IV

NYAI RATU KIDUL DARI SUDUT POLITIK

Sejarah politik Nazi Jerman memberikan kisah yang menarik. Untuk bisa mempersatukan rakyat dan prajurit Jerman maka Hitler memerlukan sebuah alat pemersatu dan untuk menghidupkan semangat Jerman. Maka Hitler menemukan kepercayaan atau keyakinan atau
mitos orang Jerman: “ Deutsch ubber alles !” Jerman di atas semuanya! Jerman lebih tinggi dari bangsa lainnya! Maka bangsa lainnya harus dikuasai! Hitler merajalela, hendak menguasai Eropa. Para tentara krucuk tidak takut mati untuk membela harga diri Jerman dan Fuhrer (pimpinan).

Propaganda Hitler itu irasional, hanya bisa dipercaya oleh otak yang kesusupan racun kesombongan. Sifat chauvimistik tersebut jelas tidak masuk akal sebab tidak ada apapun atau siapapun yang memberikan dasar dan kewenangan untuk diskriminatif kepada manusia
lainnya, kecuali atas dasar pemikiran ketidakadilan manusia, sebab menganggap manusia lainnya yang tidak sebangsa sebagai kecoa atau coro yang boleh diinjak. Tapi itulah politik, digerakkan dengan mitos!. 

Pada masa lalu, raja-raja menggunakan mitos untuk memperoleh pengakuan masyarakat atas kekuasaannya. Raja Fir’aun yang diceritakan oleh Al-Quran menganggap dirinya setara dengan Tuhan. Namun untuk membuktikan kekuasaannya, Fir’aun hanya menggunakan kekejaman, misalnya dengan merebus para pembangkangnya. Bahkan untuk membuat ular-ular guna menandingi ular tongkat Nabi Musa, Fir’aun meminta bantuan para ahli sihirnya
yang akhirnya mengaku kalah dengan Musa.

Nabi Musa membawa kabar bahwa ia adalah utusan Tuhan, guna meluruskan mitos yang disebarkan Fir’aun, maka Musa dianggap sebagai musuh oleh Fir’aun. Meskipun pada waktu itu Musa hanya hendak membebaskan kaumnya (Israel) untuk lepas dari perbudakan pemerintahan Mesir, tetapi deklarasi Musa sebagai utusan Tuhan jelas
mempunyai dampak politis terhadap kekuasaan Fir’aun.

Bicara soal mitos dan mistik sesungguhnya cerita-cerita kuno tentang bukti-bukti kerasulan dengan mu’jizat juga mengandung muatan irasional, jika cara berpikirnya seolah-olah nyata bahwa Isa bisa mengembalikan perginya nyawa orang yang sudah mati, atau mendatangkan makanan dari langit, seolah-olah nyata tongkat kayu Nabi Musa bisa membelah laut. Masalahnya adalah secara ilmu pengetahuan, kita belum bisa memperoleh dalih ilmiah, zat atau partikel atau materi apa yang ada pada tongkat Musa sehingga bisa berubah menjadi ular dan dapat menyibakkan air laut. Namun kejadian mu’jizat tersebut adalah di muka bumi maka seharusnya bisa dianalisis dengan akal dan ilmu pengetahuan. Al-Quran jelas membantah mu’jizat sebagai sihir sebab kata sihir berkaitan dengan setan atau jin, padahal mu’jizat dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran seorang rasul. Di dunia riil ini tidak ada kenyataan yang tidak riil. 

Sebuah keris orang Jawa yang bisa berdiri sendiri dan menari-nari pun akan bisa dijelaskan secara ilmiah, sebab keris itu juga materi yang berupa logam yang dapat ditarik kekuatan magnetik. Saya pernah membaca sebuah ulasan dalam suatu majalah. Sayangnya, saya lupa namanya, sebab sudah sangat lama, sekitar tahun 1980-an. Tulisan tersebut merupakan informasi adanya analisis ilmiah diagnosa dukun yang mengatakan dalam satu ruangan ada setan pengganggunya sehingga penghuninya sering sakit kepala. Ternyata hasil penelitian ilmiahnya menunjukkan adanya pancaran gelombang elektromagnetik yang memancar di ruangan tersebut. Gelombang tersebut ternyata disebabkan oleh adanya aliran air bawah tanah yang posisinya berada di bawah ruangan itu.

Jaman ini juga sering ada pertunjukan sulap sebagaimana kehebatan yang dilakukan David Coperfield, di dalamnya ada teknik-teknik yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Bisa jadi, mu’jizat para Nabi adalah sebuah rekayasa akal untuk memperdaya indera manusia,
sebagaimana layaknya digunakan oleh para pesulap modern yang bisa bertahan dalam kobaran api atau melenyapkan patung Liberty dari pandangan. Itu perkara biasa dan ilmiah, sehingga bukan gaib atau mistis.

Mungkin Musa dan Nabi-nabi lainnya mempunyai kelebihan semacam itu, diperlukan, untuk menundukkan pikiran tradisional yang dipenuhi dengan kepercayaan mistis, agar mereka tidak terperangkap dalam mitos yang diciptakan oleh penguasa zalim. Tentu saja, ilmu Allah atau wahyu Allah menjelaskan persoalan itu disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan rasionalitas manusia di jaman turunnya wahyu itu. Hal yang sudah riil dibuktikan kepada masyarakat oleh para nabi dan rasul itu bukanlah mitos, sebab justru digunakan melawan mitos para penguasa yang menipu rakyat.

Di Indonesia sendiri, pada jaman monarki juga banyak mitos yang dijadikan penguasa sebagai peneguh kekuasaannya, tetapi juga ada penguasa yang tidak memerlukan mitos. Ken Arok, anak Ken Endok, yang berasal dari strata bawah, membuat mitos seolah-olah ia adalah anak dari Dewa untuk mempengaruhi opini masyarakat, sebab secara riil dalam tubuh Ken Arok tidak mengalir darah biru. Ken Arok bukan keturunan raja. Tetapi bagi Hayam Wuruk, ia tidak membutuhkan mitos apapun. Gajah Mada yang juga gelap asal-usulnya juga tidak pernah memitoskan dirinya. Hanya saja masyarakat waktu itu terlanjur percaya dengan mitos bahwa raja dan bala tentaranya adalah utusan para dewa.

Suharto yang hidup di jaman modern pun ada yang memitoskan ia sebagai anak “lembu peteng” Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengesahkan mitos lainnya bahwa ia telah memperoleh wahyu sebagai presiden. Dalam buku suntingan Siti Hardiyanti Rukmana yang berjudul Butir-butir Budaya Jawa diceritakan “kehebatan-kehebatan mistik Suharto” (Hersri Setiawan, arus.kerjabudaya.org, 2004) Soekarno pun sampai sekarang masih dimitoskan kehebatan-kehebatan mistiknya, meskipun Soekarno sendiri tidak pernah memitos-mistikkan dirinya. Untuk memupuk semangat guna merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia juga memerlukan alat politik. 

Maka dikemukakan sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan negara besar bernama Majapahit, dengan patihnya yang gagah perkasa bernama Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara dengan sumpah Palapanya. Motivasi sejarah Majapahit itu sebenarnya juga terlalu naif sebab sejarah Majapahit dalam mempersatukan Nusantara tidak dengan jalan demokrasi, melainkan dengan cara pemaksaan, pertumpahan darah dan penjajahan. Oleh sebab itu ketika Gajah Mada dan Hayam Wuruk meninggal dunia dan Majapahit tidak lagi mempunyai orang kuat yang ditakuti, maka satu persatu wilayah jajahannya memisahkan diri dari Majapahit. Jadi, Majapahit adalah motivasi sejarah nasionalisme yang melanggar prinsip demokrasi. Tapi hal itu sudah terlanjur tertanam di otak kebanyakan orang Indonesia.

Semakin jaman modern, motivasi politik yang digunakan untuk mempengaruhi rakyat semakin modern pula. Tidak mungkin para pejuang kemerdekaan Indonesia mengobarkan semangat para pejuang dengan cara mengatakan bahwa di Indonesia banyak tukang santet
sehingga penjajah pasti kalah! Tidak mungkin dimotivasi dengan pernyataan bahwa Jawa pasti akan dilindungi oleh Nyai Ratu Kidul sehingga tidak akan bisa jatuh ke tangan penjajah! Bahkan jauh sebelum jaman pergerakan kemerdekaan, pada masa VOC Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram ketiga itu tidak pernah memotivasi prajuritnya dengan meneriakkan dukungan dari Nyai Ratu Kidul, untuk menyerang VOC di Batavia. 

Sultan memahami sebenarnya di mana Nyai Ratu Kidul berada sebab jaman semakin moderen. Maka ketidakberhasilannya dalam menyerang VOC tidak menyebabkan Sultan Agung kehilangan kewibawaan di mata rakyatnya sebab Sultan Agung tidak berbohong. Seandainya Sultan Agung mengobarkan semangat rakyatnya dengan menunggang nama
Nyai Ratu Kidul, lalu tidak berhasil, atau dikalahkan VOC, maka pastilah Sultan akan menanggung malu.

Atau bahkan ketika Sukarno atau Suharto menjadi presiden Indonesia yang berpusat di Jawa, terpaksa Keraton Jogjakarta dan Surakarta harus kalah perbawa sebab berada di bawah kekuasaan presiden. Boleh dikata, raja Jawa bukan lagi di Jogja atau di Solo, tapi
berada di Jakarta (istilah raja ini hanya untuk memudahkan pembahasan. Tentu saja presiden tidak sama dengan raja). Sukarno dan Suharto tidak perlu meminta izin atau menghormat kepada Nyai Ratu Kidul, sebab tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Mataram. Tapi ada juga beberapa artikel dan buku yang menuliskan bahwa Suharto
mempunyai dukun.

Tapi yang jelas Sukarno atau Suharto bukan orang yang menggunakan ritual kepercayaan kepada Nyai Ratu Kidul. Mereka tidak memberi sesajen kepada Nyai Ratu Kidul. Justru di istana Kepresidenan di Jakarta, diketahui tersimpan lukisan Nyai Ratu Kidul yang berada di
ruangan Wakil Presiden. Apakah mungkin untuk melakukan ritual kepada Nyai Ratu Kidul lalu presiden meminjam ruangan Wakil Presiden? Wallahu’alam. Namun yang jelas, Indonesia merdeka bukan karena bala bantuan Nyai Ratu Kidul, sebab di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis,…” Atas berka rahmat Allah Tuhan yang Maha Kuasa ….”, dan bukan “ atas bantuan Nyai Ratu Kidul …dst.” 

Saya tidak terlalu yakin jika Mangkunegoro IV dalam menulis Serat Wedatama terlalu gegabah “mencemarkan” nama baik Panembahan Senapati (Sutowijoyo) hanya untuk membuat mitos agar rakyat masih percaya pada kekuasaan Mataram yang telah diambil
Belanda, sebab waktu itu Mataram sudah kehilangan kekuasaannya atas Laut Utara Jawa. Boleh jadi mitos tersebut hanya mempertegas adanya kisah Nyai Ratu Kidul yang sudah ada sebelumnya. Sebab, jika benar mitos Nyai Ratu Kidul baru muncul setelah Mataram kehilangan kekuasaan atas Laut Utara maka itu sama halnya membuat karangan baru yang tidak masuk akal. Rakyat Jogja dan Surakarta akan bertanya-tanya, “Di mana gerangan Nyai Ratu Kidul dan seluruh pasukan lelembutnya, kok wilayah kita harus tunduk kepada wong-wong bule?” 

Itu adalah pemikiran sederhana, bisa dilakukan oleh orang kurus yang belum makan seminggu, pada jaman penjajahan. Dalam menyusun tembang Wedatama tersebut pastilah
Mangkunegoro IV telah mengambil cerita yang sudah dipercaya masyarakat. Memang, meskipun pertanyaan “di mana gerangan Nyai Ratu Kidul dan pasukan lelembutnya ketika Mataram berhasil dikalahkan Belanda” masih mungkin muncul, namun jika kepercayaan
adanya Nyai Ratu Kidul sudah lama mengakar kuat dalam masyarakat, maka logika itu masih sulit untuk menghilangkan kepercayaan itu.

Berbeda sekali dengan jika cerita itu secara tiba-tiba dimunculkan setelah Mataram dipecah, orang-orang pasti akan bertanya, mengapa kisah itu baru ada sekarang padahal Sutowijoyo adanya jauh pada masa Mataram baru berdiri.

Jadi, sesungguhnya kisah Nyai Ratu Kidul memang hanya cocok untuk alat motivasi politik pada jaman kuno, di mana sebagian besar masyarakat Jawa pada waktu itu masih diselimuti pikiran-pikiran tentang adanya kekuatan gaib yang menguasai Samudera Hindia atau Laut Selatan tersebut. Berdirinya kerajaan Islam di Demak dan eksistensi Islam di Jawa waktu itu tidak otomatis mengikis pengaruh animisme, dinamisme dan pengaruh agama Hindu-Buda. Inilah yang oleh para ilmuwan disebut sebagai fakta sinkretisme sehingga Islam tidak dijalankan secara murni, melainkan dipadukan dengan agama dan kepercayaan lama.

Kenyataan sosial seperti itulah yang dimanfaatkan oleh Sutowijoyo untuk memunculkan mitos bahwa Sutowijoyo sebagai Raja Mataram telah didukung dan dibantu oleh Nyai Ratu Kidul, penguasa lelembut tidak hanya di Laut Selatan, tapi juga memerintah para lelembut di seluruh Jawa. Tentu saja ini adalah kreativitas Sutowijoyo dalam berpolitik sebab sebelumnya seolah-olah tidak ada penguasa di Jawa yang perlu dibantu oleh Nyai Ratu Kidul. Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang berhasil menguasai Nusantara tidak dengan mitos Ratu Kidul, dan bahkan nyaris tidak terdengar kisah mistiknya. Raden Patah, Sultan Demak yang merupakan anak Prabu Brawijaya V dari isteri Campa, menjadi Sultan juga tanpa memunculkan mitos. Sultan Trenggono bahkan menjadi Sultan Demak dan Pajang, murni dengan jalan pembunuhan politik terhadap Pangeran Sekar Seda Lepen.

Karebet alias Jaka Tingkir menjadi penguasa Pajang dengan mitos bahwa ia telah memperoleh wahyu atau pulung (semacam tanda anugerah kekuasaan yang berupa sinar benda dari langit, seperti bintang jatuh, tapi lebih besar). Bahkan ketika dipecat dari jabatannya sebagai prajurit Pajang, Jaka Tingkir lalu menggunakan alat politik Kebo Ndanu
dengan cara menyuruh kerbaunya (mungkin ini bahasa kias, yang bisa diartikan perusuh) untuk mengamuk di Kesultanan Pajang, sehingga ia bertindak seolah-olah menjadi penyelamat Pajang. Lalu Jaka Tingkir kembali bekerja di Pajang, diangkat menjadi pimpinan prajurit, bahkan selanjutnya memikat puteri Sultan Trenggono, sehingga akhirnya
diambil menantu Sultan Trenggono dan dinobatkan menjadi Sultan Pajang. Dalam memegang kekuasaannya pun Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijoyo itu tidak membuat mitos Nyai Ratu Kidul.

Namun ternyata Sutowijoyo dalam menggunakan mitos politik Nyai Ratu Kidul tidak selalu diterapkan dalam semua bentuk penyelesaian politik. Bahkan dalam peperangan melawan aliansi kekuatan pasukan Jawa Timur tersebut terpaksa Sutowijoyo tidak bisa secara jantan menawarkan kelebihannya untuk menggunakan bala bantuan Nyai Ratu Kidul sebagaimana hal itu dilakukan ketika pasukan Mataram memukul mundur pasukan Pajang pada jaman
pemberontakannnya kepada Pajang.

Di situlah salah satu letak kelemahan mitos Nyai Ratu Kidul tersebut. Bendhe Kyai Becak hanya bisa diterapkan pada waktu Gunung Merapi sedang aktif, sebagai peristiwa alam yang secara cerdik dikaitkan dengan mitos adanya bantuan lelembut yang diisukan Sutowijoyo.
Seandainya saja pada waktu terjadinya konfrontasi dengan Jawa Timur tersebut sungai Madiun banjir bandang sehingga menenggelamkan Madiun, maka barulah Sutowijoyo memukul Bendhe Kyai Becaknya untuk mengarang propaganda seolah-olah pasukan lelembut Nyai Ratu Kidul telah menenggelamkan Madiun.

Mitos tersebut telah berhasil membuat lawan-lawan politik dan para pendekar yang menentang Sutowijoyo menjadi merinding sebelum bertanding. Ini yang dikatakan sebagai “kalah sebelum bertanding”. Mitos tersebut sangat manjur untuk mempercepat perluasan wilayah Mataram. Namun sayangnya, bagaimanapun juga, mitos Nyai Ratu Kidul telah menimbulkan keadaan yang “mengganggu” untuk membangun rasionalitas masyarakat tradisional Jawa guna memajukan cara pandang  mereka dalam pembangunan ekonomi fisik. Sebab harapan-harapan terhadap hal-hal mistik dan gaib itu secara tidak langsung melemahkan usaha mereka.

Masyarakat tidak secerdas Sutowijoyo, di mana ada kalanya Sutowijoyo tidak menggunakan Nyai Ratu Kidul sebab tidak ada media untuk menghubungkan kondisi dengan pekerjaan yang dilakukan. Seandainya Sutowijoyo memanggil-manggil Nyai Ratu Kidul dan
memukul-mukul Bendhe Kyai Becak di tepi sungai Madiun, maka pasukannya akan keburu habis diserang aliansi pasukan Jawa Timur. Maka ia tidak menipu dengan Bendhe Kyai Becak, tapi menipu dengan menggunakan “diplomasi palsu” dengan mengutus Adisara untuk
menyatakan bahwa Mataram menyerah. Ternyata Sutowijoyo berkhianat dan bohong! Tidak satupun tatanan moral di dunia ini yang membenarkan perilaku Sutowijoyo dengan membuat penipuan diplomasi itu.

Jika misalnya rakyat Indonesia mengutuk Belanda yang telah menipu Pangeran Diponegoro dengan tipuan diplomasi, sehingga Diponegoro ditangkap dan dibuang ke luar Jawa, maka kelakukan Belanda itu sama persis dengan kelakukan Sutowijoyo itu. Bahkan Sutowijoyo lebih sadis, sebab Belanda tidak membunuh Diponegoro. Tapi Sutowijoyo dengan gampang membunuhi lawan-lawan politiknya yang kebanyakan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya dan sama-sama sebagai orang muslim. Bahkan, anak perempuannya pun dijadikan umpan politik, dan Ki Ageng Mangir menantunya itu pun dipenggal lehernya.

Sejarah sesungguhnya tidak boleh bangga kepada Sutowijoyo. Sebab ia menjadi pemersatu Jawa dengan cara berlumuran darah. Sebab ia adalah contoh negarawan dan politikus yang biadab, yang dapat memberi inspirasi negatif kepada para politikus di Jawa, sebagaimana yang sedang terjadi sekarang ini.



--o0o--

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Choose Your Own Language

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © Pebruari 2017 - FRIDA ACEDA - All Rights Reserved
Design by Utak-Atik Mediatama Sumedang