Headlines News :

NYAI RATU KIDUL DAN PENGUASA MATARAM


BAGIAN II

NYAI RATU KIDUL DAN PENGUASA MATARAM

Memang gelap gulita, tidak ada catatan sejarah tentang kapan mulainya kisah Nyai Ratu Kidul tersebut muncul. Beberapa analisis menyatakan bahwa kisah Nyai Ratu Kidul sengaja dimunculkan pada jaman ketika Mataram telah kehilangan kekuasaannya terhadap Laut Utara Jawa yang dikuasai VOC. Pada tahun 1743 VOC mengadakan perjanjian dengan Paku Buwono II yang sedang dalam keadaan sakit, yang isinya:
  1. VOC berkuasa atas sepanjang pantai utara Jawa serta ke pedalaman sampai batas 6 kilometer;
  2. Semua Bupati pesisir utara Jawa sebelum memangku jabatannya harus bersumpah setia kepada VOC.
Dugaan tersebut pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer pada waktu ia menerima hadiah Magsaysay tahun 1995 di Manila (geocities.com, 2004)Pada umumnya para analis memang tidak bisa secara pasti, kapan kali pertama munculnya kepercayaan Nyai Ratu Kidul. Maka tulisan ini akan lebih banyak mengambil dasar-dasar dari cerita yang telah berkembang tentang Nyai Ratu Kidul tersebut, dan sedikit-banyak turut serta untuk memberikan pendapat tentang kapan, dengan motif apa, serta menilai kebenaran dari kepercayaan Nyai Ratu Kidul.

Dari berbagai sumber, dengan cerita yang sama, maka saya meringkas kisah penting dengan disertai pendapat atau komentar saya, sebagai berikut:


1. Pertemuan Pertama Nyai Ratu Kidul Dengan Sutowijoyo

Raja Mataram (Islam) yang pertama yang dikenal sejarah adalah Sutowijoyo. Sebenarnya penguasa Mataram Pertama adalah Ki Pemanahan, ayah kandung Sutowijoyo. Menurut silsilahnya Sutowijoyo adalah anak dari Ki Pemanahan. Ki Pemanahan adalah anak dari Ki Ngenis, dan Ki Ngenis adalah anak dari Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela ini adalah guru dari Sultan Pajang (Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir). Ki Ageng Sela anak dari Ki Getas Pandawa, Ki Getas. Pandawa anak dari Lembu Peteng dan Retna Nawangsih, sedangkan Nawangsih adalah anak dari Nawang Wulan dan Jaka Tarub (Raden Bondan Kejawan atau Kidang Telangkas). Jaka Tarub adalah keturunan dari Raja Majapahit: Bre Wengker. Lembu Peteng tersebut juga anak dari Raja Majapahit (Bandingkan dengan kisah Nyai Ratu Kidul Versi B di depan). 

Tadinya kerajaan Mataram adalah hutan Mentaok yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijoyo kepada Ki Pemanahan, Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo, atas jasa mereka dalam membunuh Arya Penangsang, Bupati Jipang Panolan maka Arya Penangsang memberontak kepada Pajang karena menuntut takhta Demak yang sesungguhnya merupakan warisan dari ayahnya, Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Sultan Trenggono). Ayah dari Arya Penangsang ini telah dibunuh oleh orang suruhan Sunan Prawoto, anak Sultan Trenggono.

Setelah hutan Mentaok diserahkan kepada Ki Pemanahan, Sutowijoyo dan Ki Juru Mertani maka mereka mulai membangunnya dan diberi nama Mataram. Setelah Ki Pemanahan meninggal, Sutowijoyo dinobatkan menjadi Bupati Mataram oleh Sultan Hadiwijoyo dan bergelar Panembahan Senopati ing Ngalogo Sayyiddin Panotogomo. Kalau diterjemahkan, kurang-lebih: “Junjungan Panglima perang, Pemimpin dan Penata Agama.” 

Perlahan dengan pasti, Mataram pada waktu pemerintahannya di pegang Sutowijoyo mulai memisahkan diri dengan Pajang, memberontak kepada Sultan Hadiwijoyo, yang menurut kisah adalah ayah angkatnya sendiri. Meskipun ada juga gosip sejarah yang menyatakan bahwa sebenarnya Sutowijoyo adalah “anak gelap” Hadiwijoyo yang lahir dari gundiknya, tapi gosip ini belum pernah bisa dibuktikan sebab latar belakang diangkatnya Sutowijoyo sebagai anak angkat dari Hadiwijoyo mempunyai korelasi dengan hubungan Hadiwijoyo dengan Ki Ageng Sela (buyut Sutowijoyo) yang tidak lain adalah guru dari Hadiwijoyo sewaktu ia belum  menjadi Sultan Pajang.

Dalam masa babat hutan Mentaok tersebut dan pada masa merencanakan pemberontakannya kepada Pajang inilah terdapat kisah bahwa Sutowijoyo dibantu oleh Nyai Ratu Kidul dengan bala bantuan pasukan lelembut dari Laut Selatan. Saya berpendapat bahwa kisah Nyai Ratu Kidul memang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati ini, yang digunakan untuk memotivasi pasukan Mataram dan memperkecil nyali pasukan lawan. 

Dari berbagai kisah yang ada, pertemuan pertama Nyai Ratu Kidul dengan Sutowijoyo terdapat dua versi. Pertama, pada waktu Sutowijoyo melakukan babat hutan Mentaok (seperti kisah bertemunya Bima dengan Arimbi di hutan Amarta atau Wanamarta), atau versi kedua, pada waktu Sutowijoyo bertapa ngeli (membiarkan tubuhnya dibawa aliran air), ketika Sutowijoyo sudah mulai merencanakan untuk membangkang kepada pemerintahan Pajang.Versi kedua tersebut dituturkan sebagai berikut:
    Sebelum Sutowijoyo melakukan pemberontakan kepada Pajang, ia pernah bertapa untuk meminta kepada Tuhan agar ia diberikan petunjuk untuk bisa mengayomi rakyatnya dan memerintah Mataram dengan adil dan makmur. Sutowijoyo bertapa dengan jalan ngeli atau membiarkan dirinya hanyut oleh aliran sungai. Ketika ia hanyut sampai di pertemuan antara sungai Gajah Wong dengan sungai Opak, dekat Desa Plered, maka di Laut Selatan terjadi badai yang meresahkan para “penghuninya”.  Nyai Ratu Kidul segera turun tangan, mencari penyebab badai tersebut, sehingga menemukan Sutowijoyo yang sedang bertapa. Saat mengetahui Sutowijoyo, Nyai Ratu Kidul jatuh cinta oleh ketampanannya. 
    Kemudian Nyai Ratu Kidul bertanya, apa yang diinginkan Sutowijoyo sehingga menyiksa diri bertapa sehingga pengaruhnya menimbulkan kekacauan di Laut Selatan. Maka Sutowijoyo menyampaikan maksud bahwa ia ingin menjadi raja Mataram yang nantinya bisa membawa rakyatnya kepada kesejahteraan. Lalu Nyai Ratu Kidul bersedia membantu Sutowijoyo dengan syarat harus disepakati kontrak yang klausulnya menyatakan bahwa Sutowijoyo dan raja-raja keturunannya harus memperisteri Nyai Ratu Kidul. 
    Maka Sutowijoyo menyepakati kontrak tersebut, dan ia mengakhiri tapanya.Sejak itu, berkembanglah opini publik di Mataram yang mendengung-dengungkan bahwa Sutowijoyo didukung oleh Penguasa Laut Selatan. Tidak hanya itu; Nyai Ratu Kidul konon juga memerintahkan kepada penguasa Gunung Merapi untuk mendukung dan membantu Sutowijoyo. Informasi tersebut tidak hanya berkembang di dalam Mataram, tetapi juga sampai ke luar Mataram.Untuk mendukung opini dan kepercayaan masyarakat Jawa maka tentara Mataram dibekali dengan Bendhe Kyai Becak (sebuah alat gamelan seperti gong kecil). Bendhe Kyai Becak tersebut selalu dipukul oleh tentara Mataram dalam peperangan dengan isu untuk mendatangkan bala bantuan dari para lelembut. Inilah yang menjatuhkan semangat lawan-lawan Mataram, sehingga dalam berbagai pertempuran pasukan Mataram berhasil menang.

2. Pembangkangan Sutowijoyo Kepada Pemerintah Pajang

Setelah Ki Pemanahan meninggal dunia tahun 1584 maka Sultan Hadiwijoyo mengangkat Sutowijoyo menjadi penguasa Mataram, dengan kewajiban untuk selalu tunduk kepada Pajang. Artinya, Mataram tetap dianggap daerah kekuasaan Pajang oleh Sultan Hadiwijoyo. Namun setelah Sutowijoyo menjadi pengganti Ki Pemanahan, dengan sengaja ia tidak mau sowan (menghadap) kepada Sultan Hadiwijoyo. Sutowijoyo memulai pembangkangan tersebut secara taktis. Ia selalu mempengaruhi para mantri dan bupati yang akan sowan kepada Sultan Hadiwijoyo. Mereka diikat dengan perlakuan yang baik, sampai-sampai secara tidak sadar membuat “kontrak politik” untuk bekerjasama. Yang dikatakan tidak sadar tersebut adalah bahwa para mantri dan bupati tersebut tidak mengetahui bahwa Sutowijoyo mempunyai rencana untuk membangkang kepada Sultan Hadiwijoyo. Karena beberapa lama Sutowijoyo tidak sowan kepada Sultan Hadiwijoyo, maka Sultan memerintahkan utusan untuk mengawasiperkembangan Mataram. 

Ternyata Mataram mulai membangun tembok keliling di istana. Konon pembangunan pagar atau tembok keliling itu atas saran Sunan Kalijaga. Utusan Pajang tersebut dalam cerita rakyat bernama Ki Wilamarta dan Wuragil. Menurut adat kebiasaan dan tatacara kenegaraan waktu itu, Wilamarta dan Wuragil yang datang ke Mataram sebagai wakil Sultan Pajang yang harus dihormati, sehingga Sutowijoyo pun harus memberikan hormatnya. Namun Sutowijoyo menemui utusan Sultan tersebut di jalan, ia sengaja tidak mau turun dari kudanya untuk memberikan hormat kepada utusan Sultan Pajang. 

Itulah terutama isyarat yang ditangkap oleh para utusan Pajang, bahwa Sutowijoyo benar-benar membangkang kepada kekuasaan Pajang. Kisah tersebut saya ceritakan agak panjang lebar dengan maksud menunjukkan kepada pembaca bahwa Sutowijoyo menjalankan politiknya dengan cara melanggar etika politik waktu itu. 

Hal ini sangat berguna untuk dihubungkan dengan kepercayaan Nyai Ratu Kidul tersebut dalam kaitannya dengan kejujuran Sutowijoyo. Konon, karena Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo merasa sulit menandingi kesaktian Sultan Pajang dan kehebatan pasukan Pajang, maka Sutowijoyo pergi ke Parangtritis untuk menemui Nyai Ratu Kidul, dan Ki Juru Mertani mendapatkan tugas untuk menemui penguasa Gunung Merapi. Selanjutnya Nyai Ratu Kidul sanggup untuk memberikan bala bantuan jin dan setan untuk menghadapi rencana peperangan. Disamping bersekutu dengan Nyai Ratu Kidul, Sutowijoyo juga didukung oleh Sunan Kalijaga yang memberi nasihat untuk menyusun benteng-benteng (pagar) di Mataram. 

Kisah peperangan Mataram melawan Pajang disulut oleh sebuah peristiwa yang agak persis dengan penyebab terjadinya Perang Dunia I. Adik perempuan Sutowijoyo dikawinkan dengan seorang Tumenggung yang dikenal dengan Tumenggung Mayang. Dari perkawinan tersebut dipunyai anak yang diberi nama Raden Pabelan, yang di masa remajanya terkenal sangat ganteng dan mata keranjang. Suatu saat Tumenggung Mayang menyuruh Raden Pabelan untuk menggoda puteri Sultan Pajang (Sekar Kedaton). Puteri ini akhirnya jatuh cinta kepada Raden Pabelan Suatu saat Raden Pabelan tertangkap ketika sedang berada di Taman Kaputren (tempat isteri dan putri raja yang berada dalam komplek istana). 

Hingga akhirnya Raden Pabelan meninggal di tangan prajurit Pajang. Menurut kisahnya, tertangkapnya Raden Pabelan oleh prajurit Pajang karena atas rencana Tumenggung Mayang sendiri yang jengkel dengan perilaku anaknya itu. Tapi dalam analisis politik ini akan menjadi lain, sebab pasti ada pertanyaan: Apakah sesederhana itu alasan Tumenggung Mayang, sebab peristiwa ini menjadi penentu kehancuran Pajang. Kisah ini dapat dibandingkan dengan cerita upaya politik Sutowijoyo dalam menguasai tanah perdikan Mangir dengan cara mengumpankananaknya, Puteri Pambayun.

Peristiwa itu dilaporkan prajurit kepada Sultan Pajang sehingga Sultan Hadiwijoyo ini marah-marah dan menghukum Tumenggung Mayang, ayah Raden Pabelan, dengan dibuang ke Semarang. Dalam perjalanan pembuangan Tumenggung Mayang tersebut diiringisekitar seribu pasukan Pajang dengan senjata lengkap.  Atas peristiwa itu, isteri Tumenggung Mayang yang tidak lain adalah adik Sutowijoyo, mMenerima pemberitahuan tersebut maka Sutowijoyo mengumpulkan para prajuritnya serta para bupati dan mantri sahabatnya untuk mempersiapkan diri guna merebut Tumenggung Mayang dari pasukan Pajang yang sedang menawannya. 

Sutowijoyo merasa berkewajiban untuk menyelamatkan adik iparnya itu. Tapi lagi-lagi, ini adalah sebuah alasan politis. Rencana perlawanan Sutowijoyo itu dikritik Ki Juru Mertani. Ki  Juru Mertani tersebut telah turut berjasa dalam membunuh Arya Penangsang (berarti juga berjasa untuk memperoleh bumi Mataram). Ki Juru Mertani menasihati Sutowijoyo agar jangan melawan Sultan Pajang dengan tiga alasan. Pertama, Sultan Pajang adalah raja yang berdaulat. 

Kedua, Sultan Pajang adalah ayah angkat Sutowijoyo.
Ketiga, Sultan Pajang juga telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman sehingga sama halnya sebagai guru Sutowijoyo.

Namun Sutowijoyo terlanjur berambisi untuk menjadi Raja Jawa. Meskipun nasehatnya tidak digubris Sutowijoyo, Ki Juru Mertani tetap mendukung Sutowijoyo, sebab Sutowijoyo diyakininya telah memperoleh rekomendasi ramalan dari Walisongo (Sunan Giri); akan menjadi Raja Jawa. Selanjutnya berita pengerahan pasukan Mataram didengar oleh Sultan Pajang.Hal itu mengindikasikan adanya upaya pemberontakan oleh Mataram sebab Tumenggung Mayang adalah tawanan Pajang, tetapi akan direbut oleh Mataram. Maka Sultan Hadiwijoyo sendiri berangkat memimpin pasukannya untuk menundukkan Mataram. Di sinilah taktik dijalankan. 

Pasukan Sutowijoyo menggunakan strategi teknis dan magis. Pasukan Mataram dibagi menjadi tiga barikade. Satu barikade kecil bertugas menyerang (mengecoh) pasukan Pajang, lalu berlari mundur, sehingga seluruh pasukanPajang mengejar barikade pasukan Mataran pengecoh ini.Selanjutnya dua barikade pasukan Mataram lainnya bertugas  melakukan serangan mendadak dari sisi kiri dan kanan pasukan Pajang yang sedang mengejar satu barikade pasukan pengecoh tersebut. Maka kocar-kacirlah pasukan Pajang. Pada waktu itu Gunung Merapi sedang dalam keadaan aktif.  Maka taktik magis atau mistik juga dijalankan. Bendhe Kyai Becak diperintahkan untuk dibunyikan jika ada letusan gunung Merapi. Pasukan Pajang juga harus menghadapi aliran lahar gunung Merapi.

Saat itulah pasukan Pajang mulai berpendapat bahwa mereka juga melawan para lelembut, pasukan dari penguasa Gunung Merapi yang diperintah Nyai Ratu Kidul. Maksud Sutowijoyo tercapai, yaitu: merontokkan spirit para prajurit Pajang. Banjir lahar malam hari membuat pasukan Pajang banyak yang hanyut. Karena kehilangan banyak pasukan maka Sultan Hadiwijoyo menarik pasukannya untuk kembali ke Pajang. Namun dalam perjalanan Sultan Pajang ini jatuh dari gajah tunggangannya sehingga jatuh sakit.

Ketika sampai di istana Pajang, Sultan Hadiwijoyo berwasiat kepada anaknya, Pangeran Benowo, agar ia tidak melawan kepada Sutowijoyo. Bahkan Sultan Pajang sendiri sudah percaya bahwa  Sutowijoyo telah ditakdirkan menjadi menjadi Raja Jawa sebagaimana ramalan Sunan Giri. Sultan Hadiwijoyo, penguasa Pajang itupun rontok semangatnya karena isu mistik tersebut. Ia telah kehilangan keyakinan dan keimanan Islamnya, bahwa dengan semangat dan usaha, manusia bisa mencapai takdirnya sebagaimana orang yang sakit menjadi ditakdirkan sembuh karena berusaha mengobati dirinya. Sultan Pajang itu dikalahkan bukan oleh kejituan ramalan Sunan Giri, tapi oleh pengaruh atau akibat ramalan yang telah menjatuhkan semangatnya.  

Suatu ramalan adalah bukan karena manusia mengetahui apa yang akan terjadi, melainkan sebuah ketajaman analisis. Buktinya, tidak semua ramalan menjadi kenyataan, bahkan ramalan atau Jangka Jaya Baya yang dimitoskan itu juga tidak selalu tepat. Jangka Jayabaya tidak menggunakan “ilmu weruh sakdurunge winarah” (ilmu mengetahui peristiwa yang belum terjadi) seperti yang diyakini para penganut mistik, tetapi menggunakan ilmu falak atau ramalan bintang.

Saya kutipkan dasar ramalan bintangnya Jayabaya dari Kitab Primbon Quraisyn Adammakna, yaitu: “Marga manut primbon ilmu palintangan, katon lintang kemukus, siji-sij ne saben tahun mung apisan temu gelang.” (Sebab menurut primbon ilmu perbintangan, nampak komet, satu-satunya setiap 100 tahun hanya satu siklus.) Begitu pula para Walisongo juga mendalami ilmu falak yang digunakan meramal masa depan, seperti ramalan bintang di koran-koran dan tabloid itu. Hanya saja menurut Islam, analisis masa depan menyangkut nasib manusia tidak boleh dijadikansebagai ramalan yang diyakini pasti akan terjadi. Itu suatu kesombongan. 

Boleh jadi, Sultan Hadiwijoyo sedih memikirkan akhir karirnya atas ramalan Sunan Giri bahwa telah waktunya muncul Raja baru di Jawa. Selanjutnya Sultan Pajang meninggal dunia tahun 1587. Pada waktu itu kekuatan politik di Jawa yang paling kuat waktu itu adalah Mataram sebab tidak ada lagi orang yang lebih kuat selain Sutowijoyo. Demak sudah lama di bawah pengaruh Pajang. 

Tetapi dengan meninggalnya Sultan Hadiwijoyo pun Pajang sudah tidak lebih kuat daripada Demak. Sepeninggal Sultan Hadiwijoyo maka Pajang menggelar sidang. Sidang tersebut juga dihadiri oleh Sutowijoyo yang habis melayat ayah angkatnya itu. Di situ Sunan Kudus masih membuktikan pengaruhnya. Sunan Kudus memutuskan Pangeran Benowo menjadi Adipati Jipang Panolan. Sedangkan jabatan Sultan Pajang diberikan kepada menantu Sultan Hadiwijoyo yaitu Adipati Demak dengan alasan bahwa anak tertua dari Sultan Hadiwijoyo adalah isteri dari Adipati Demak. Keputusan Sunan Kudus tersebut menjadikan posisi Mataram semakin kuat, sebab dengan diangkatnya Adipati Demak menjadi  Sultan Pajang maka di Pajang terjadi kekacauan politik dan sosial karena sifat kolusi Adipati Demak yang membawa para pejabat Demak ke Pajang serta mengurangi hak-hak asli tanah rakyat Pajang yang harus dibagi dengan para pendatang dari Demak.


Situasi semakin tidak terkendali 

Pangeran Benowo yang sudah menjadi Adipati (Bupati) Jipang meminta bantuan kepada Sutowijoyo untuk mengatasi situasi di Pajang, tetapi ditolak dengan alasan bahwa urusan Pajang adalah urusan Pangeran Benawa dengan saudara-saudaranya. Tapi, karena Pangeran Benawa tidak rela Pajang dikuasai oleh Adipati Demak maka ia menyatakan menyerahkan Pajang kepada Sutowijoyo. 

Dengan penyerahan itulah maka Sutowijoyo menerimanya dengan senang hati sehingga mengerahkan pasukannya untuk menyerang Pajang. Akhirnya Pajang berhasil dikuasai Mataram. Maka pusat kekuasaan di Jawa Tengah waktu itu berada di Mataram, di bawah kendali Sutowijoyo alis Panembahan Senopati.


Taktik dan Politik Sutowijoyo Untuk Memperluas Wilayah

Suatu saat, Sutowijoyo mengumpulkan seluruh kekuatannyadan memimpin pasukan untuk melebarkan kekuasaannya ke Jawa Timur. Para raja Jawa Timur, seperti Surabaya, Madiun, Pasuruan, Tuban, Lamongan, Gresik, Sumenep dan lain-lain segera bersatu untuk menghadang gerak pasukan Mataram. Mereka membuat pesanggrahan (kamp militer) di Japan. Ketika mengetahui adanya bahaya pertumpahan darah itulah maka konon Sunan Giri, sebagai  guru para penguasa di Jawa, mengirimkan utusan untuk mendamaikan Mataram dengan para penguasa Jawa Timur tersebut.

Atas inisiatif utusan Sunan Giri tersebut maka dilakukan perundingan. Utusan tersebut konon membawa pesan dari Sunan Giri yang tidak mengizinkan perang dan memberikan pilihan kepada Mataram dan para penguasa Jawa Timur untuk memilih “tempat” atau “isi”. Ternyata Sutowijoyo memilih tempat dan Pangeran Surabaya memilih isi. Hal itu ditafsirkan dengan pengertian mistik bahwa telah ditakdirkan Sutowijoyo akan menguasai wilayah di Jawa (tempat atau wadah diartikan sebagai wilayah). Sebaliknya para penguasa wilayah Jawa Timur hanya akan menjadi isi dari wilayahnya (isi diartikan dengan penduduk). 

Namun setelah itu masih terjadi perselisihan perebutan beberapa wilayah di Blora dan Warung antara Mataram dengan Surabaya. Sutowijoyo masih tetap berusaha melanjutkan misinyauntuk mempersatukan Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Maka atas inisiatif Panembahan Madiun, dikumpulkanlah seluruh pasukan dari Jawa Timur untuk menghadang serangan Mataram, sebab Mataram tetap dianggap api yang berbahaya, yang suatu saat akan menguasai Jawa Timur.

Dalam rangka penyerangan ke Timur, Sutowijoyo mengumpulkan seluruh pasukannya dan diberangkatkan ke arah Timur, lalu membuat kamp di Desa Kalidadung, sebelah barat sungai Madiun. Maka pasukan Mataram dan pasukan Jawa Timur telah berhadap-hadapan dan hanya dibatasi oleh sungai Madiun.

Sutowijoyo membuat estimasi bahwa pasukannya tidak akan mungkin mengalahkan Angkatan Perang Jawa Timur yang sangat besar. Maka ia segera melancarkan taktik. Disuruhnya seorang wanita cantik, konon bernama Adisara, sebagai duta untuk melakukan diplomasi. Wanita tersebut disuruh Sutowijoyo untuk mengakui bahwa Mataram menyerah kepada Jawa Timur sebab Sutowijoyo menyadari kebesaran para penguasa Jawa Timur. Sutowijoyo menyatakan membatalkan peperangan. Maka Panembahan Madiun, yang tidak lain adalah ipar Sultan Hadiwijoyo, merasa gembira. Begitu pula para prajurit Jawa Timur yang tidak jadi berperang.

Karena pernyataan menyerah dari Sutowijoyo tersebut maka pasukan aliansi Jawa Timur membubarkan diri dan ditarik ke daerah masing-masing. Setelah Sutowijoyo memastikan lawannya telah bubar, maka ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang Madiun. Kisah peperangan licik ini diabadikan dengan cerita rakyat yang bertitel Retno Dumilah yang sering menjadi cerita pertunjukan Ketoprak. Retno Dumilah adalah puteri Panembahan Madiun, yang akhirnya dikawini oleh Sutowijoyo, yang konon melahirkan penerus kekuasaan Mataram selanjutnya, yaitu: Sultan Agung Hanyokro-kusumo, setelah meninggalnya Prabu Nyokrowati, Raja Mataram kedua. Kisah kelicikan Sutowijoyo dalam menjalankan taktik lainnya juga sangat terkenal dalam cerita rakyat Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir adalah penguasa Kemangiran dekat dengan Mataram, yang tidak mau membayar upeti kepada Mataram.

Ki Ageng Mangir mempunyai alasan bahwa Mangir adalah wilayah bebas upeti (kawasan otonom dan bebas pajak) sejak jaman Majapahit dan diakui penguasa Demak sampai Pajang, sehingga ia juga tidak mau membayar upeti kepada Mataram. Namun, Sutowijoyo mengartikan lain. Jika seorang kepala daerah tidak mau membayar upeti, maka dianggaplah sebagai bentuk pembangkangan. Sikap Sutowijoyo ini tidak terlepas dari perilakunya (pengalamannya sendiri) ketika ia membangkang kepada Pajang dahulu, dengan jalan tidak mau sowan dan tidak mau membayar upeti. Maka Sutowijoyo menganggap Ki Ageng Mangir sebagai lawan politik yang harus disingkirkan. 

Cerita rakyat mengisahkan bahwa Ki Ageng Mangir adalah orang yang sangat sakti dan berpengaruh. Ia mempunyai pusaka yang berupa tombak yang diberi nama Tombak Baru Klinting. Ki Ageng Mangir akan kehilangan kesaktian jika kesaktian tombak pusakanya itu musnah. Dalam mistik kejawen, seluruh bentuk kesaktian itu pasti mempunyai wadi (rahasia). Untuk menyerang Kemangiran, Sutowijoyo merasa ragu-ragu, apakah ia akan bisa mengalahkan Ki Ageng Mangir. Maka Sutowijoyo menugaskan puterinya yang cantik, bernama  Pambayun, untuk menyamar menjadi penari keliling dengan misi untuk menarik perhatian Ki Ageng Mangir. Akhirnya misi itu berhasil sebab Ki Ageng Mangir tertarik kepada Pambayun dan mengawininya. Umpan Sutowijoyo adalah puterinya sendiri, telah dimakan Ki Ageng Mangir.

Karena sudah menjadi isteri Ki Ageng Mangir maka Pambayun tidak lupa dengan misinya untuk mengetahui rahasia kesaktian Ki  Ageng Mangir. Akhirnya Ki Ageng Mangir membeberkan rahasia kesaktiannya, yaitu terletak pada tombak pusaka miliknya. Jika tombak itu dipegang oleh wanita maka kesaktiannya akan hilang. Maka pada tengah malam ketika Ki Ageng Mangir tertidur, Pambayun memegang tombak pusaka Kyai Baru Klinting tersebut sehingga musnahlah kesaktiannya. Konon, setelah Pambayun hamil, maka ia merasa rindu dengan orang tuanya dan membuka kedoknya, bahwa sesungguhnya ia  adalah anak Sutowijoyo yang sedang ditugaskan untuk mengetahui rahasia kesaktian Ki Ageng Mangir. Mengetahui hal tersebut maka Ki Ageng Mangir tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya, tetapi ia memilih untuk tunduk kepada Mataram daripada harus berpisah dengan isterinya yang sedang hamil tersebut. 

Selanjutnya Pambayun berkirim kabar kepada ayahnya, Sutowijoyo, bahwa ia akan pulang bersama Ki Ageng Mangir yang telah menjadi suaminya. Mendengar kabar itu maka Sutowijoyo mengirmkan utusan untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Ageng Mangir, bahwa Ki Ageng Mangir boleh menghadap kepada Sutowijoyo, tetapi tidak boleh membawa pasukan pengawal untuk masuk ke wilayah Mataram. Syarat itu disanggupi oleh Ki Ageng Mangir. Namun, ketika Ki Ageng Mangir sampai di wilayah Mataram, Pambayun direbut oleh pasukan Mataram dan Ki Ageng Mangir dikeroyok pasukan Mataram.

Tapi karena kesaktiannya, maka Ki Ageng Mangir masih bisa hidup sampai akhirnya ia berhadapan langsung dengan Sutowijoyo di istana Mataram. Ki Ageng Mangir menuruti perintah Sutowijoyo untuk menghaturkan sembah, tetapi kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan ke Watu Gilang oleh Sutowijoyo hingga meninggal dunia. Bahkan karena ketakutannya kepada Ki Ageng Mangir yang sudah mati, kepala Ki Ageng Mangir dipenggal, lalu kepala dan badan dikubur dalam tempat yang berbeda, di luar dan di dalam benteng keraton. Itulah sekelumit cerita yang sangat dihafal oleh sebagian besar para orang tua Jawa. Kisah-kisah tersebut menunjukkan betapa  liciknya Raja Jawa yang bernama Sutowijoyo.

Maka boleh jadi, Nyai Ratu Kidul adalah bagian dari kelicikan politik dan taktik Sutowijoyo untuk menjatuhkan mental para prajurit lawan-lawannya.   Hal itu sekaligus menunjukkan kepiawaian Sutowijoyo dalam memanfaatkan social behav or (perilaku masyarakat) dalam menjalankan strategi politiknya. Sutowijoyo sadar bahwa masyarakat Jawa waktu itu masih dilekati keyakinan mistik sehingga bisa dipengaruhi melalui jalan mistik tersebut.


4. Nyai Ratu Kidul Pasca Sutowijoyo

Berturut-turut, setelah Sultan Agung, Mataram diperintah oleh: - Amangkurat I (1646-1677); Setelah itu, Mataram terpecah menjadi dua, Jogjakarta yang diperintah oleh Sultan Hamengku Buwono I dan Surakarta yang diperintah Pakubuwono III. Selanjutnya Mataram tidak hanya menjadi Jogjakarta dan Surakarta. Jogjakarta mempunyai pecahan Adikarto (Paku Alaman) yang diperintah oleh Paku Alam dan Surakarta mempunyai pecahan Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegoro. Saya tidak akan terlalu panjang untuk meneruskan sejarah kekacauan Mataram tersebut.

Cukuplah keadaan sejarah yang saya uraikan di atas menunjukkan fakta bahwa Mataram yang konon menjalin kekuatan mistik dengan penguasa Laut Selatan, Nyai Ratu Kidul, ternyata tidak berdaya menghadapi serangan Trunojoyo. Yang membantu mengembalikan kekuasaan raja Mataram bukanNyai Ratu Kidul, tapi Belanda. Bahkan ketika Amangkurat II yang tidak tahan lagi bekerjasama dengan Belanda, ia meminta bantuan Untung Suropati, mantan budak dari Bali yang sangat gagah berani dan mati dalam keadaan terhormat itu. Ketika Untung Suropati meninggal dunia, Amangkurat III pun tidak berdaya, menyerah kepada Belanda dan dibuang ke Srilanka. Alangkah malang nasib raja Mataram yang konon adalah suami dari Nyai Ratu Kidul itu.

Sepeninggal Sutowijoyo tahun 1601, Mataram diteruskan oleh anak Sutowijoyo yang bernama Raden Mas Jolang alias Pangeran Nyokrowati alias Pangeran Seda Krapyak, yang bergelar Prabu Nyokrowati, yang memerintah sampai dengan tahun 1613 (meninggal tahun 1613). Selanjutnya pemerintahan Mataram diteruskan oleh anak Sutowijoyo yang lainnya, yaitu Raden Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo dari tahun 1613 sampai 1646. Masa-masa pemerintahan Sultan Agung tersebut wilayah Mataram semakin luas. Ibukota kesultanan dipindah dari Kerta ke Plered. Pada masa itu Surabaya yang sulit ditaklukkkan berhasildikuasai. Wilayah kekuasaan Mataram sampai ke Sukadana, Kalimantan dan Madura.

Seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil dikuasai, sampai ke Cirebon, Jawa Barat. Sultan Agung dikenal sebagai raja yang taat beribadah ritual Islam, mengirimkan utusan ke Mekah untuk memperdalam ajaran Islam untuk menjadi penasehatnya. Sultan Agung pun memperoleh gelar Islam yaitu: Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami. Jika gelar itu diterjemahkan, kurang-lebih adalah: “Penguasa, abdi dari Muhammad, pemimpin Mataram.” Ia juga yang mengubah tahun Saka yang merupakan Tahun Matahari (Tarikh Syamsiah) menjadi tahun Jawa-Islam yang berdasarkan perhitungan Tahun Bulan (Tarikh Qamariah) untuk disesuaikan dengan Tahun Hijriah.

Pada tahun 1633 Masehi adalah tahun 1555 Saka, dan dijadikan menjadi tahun 1555 Jawa-Islam (jawapalace.org, 2004).

- Amangkurat II (1677-1703);
- Amangkurat III (1703-1704);
- Pakubuwono I (1708-1719);
- Mangkurat IV (1719-1727);
- Pakubuwono II (1727-1745);
- Pakubuwono III (1749-1788);

Pasca Sutowijoyo, tidak ada cerita tentang Nyai Ratu Kidul dalam membantu para raja keturunan Sutowijoyo, yang seheboh kisah kerjasama Nyai Ratu Kidul dengan Sutowijoyo.

Tahun 1782, Pakubuwono III membangun Panggung Sanggabuwono yang menurut mitosnya adalah sebagai tempat pertemuan antara Pakubuwono dengan Nyai Ratu Kidul. Tapi juga ditengarai bahwa panggung itu digunakan oleh Pakubuwono III untuk mengamati wilayahnya dari dalam keraton (termasuk memata-matai benteng Vastenburg milik Belanda). Ketika Belanda menegur pembuatan Panggung Sanggabuwono maka Pakubuwono III berdalih bahwa tempat itu untuk pertemuannya dengan Nyai Ratu Kidul (jawapalace.org, 2004). Sebuah alasan adat yang mesti ditoleransi Belanda.

Kisah Nyai Ratu Kidul juga muncul kembali setelah Mangkunegoro IV yang memerintah Mangkunegaran (1853-1881) mengarang Serat Wedatama. Rupa-rupanya di situlah muncul kerinduan terhadap mitos Nyai Ratu Kidul, meskipun harus mengalami perubahan. Pada masa pemerintahan Pakubuwono X, juga terdapat kisah bahwa akhirnya Pakubuwono X dan keturunannya sudah bukan lagi menjadi suami Nyai Ratu Kidul, tapi menjadi anak, karena adanya salah ucap dari Nyai Ratu Kidul. Ini merupakan suatu perubahan untuk mengarah pada rasionalitas, sebab tidak akan logis menurut Hukum Adat Jawa atau Islam, jika Nyai Ratu Kidul yang sosok perempuan itu melakukan poliandri (harus menjadi isteri dari Pakubuwono, Hamengku Buwono, Paku Alam dan Mangkunegoro).

Kisah-kisah Nyai Ratu Kidul pada masa pasca Sutowijoyo lebih banyak berupa gugon tuhon (cerita dari mulut ke mulut) tentang kisah-kisah insidentil yang terjadi di sekitar lingkungan Laut Selatan. Tetapi, tidak ada salahnya jika dalam sub bab ini saya ceritakan sedikit bagian sejarah tentang keadaan Mataram setelah Sultan Agung meninggal dunia, agar bisa diketahui gambarannya; seberapa jauh peran Nyai Ratu Kidul dalam turut mempertahankan keutuhan Mataram dan kesejahteraan masyarakatnya. Pada masa pemerintahan Amangkurat I di Mataram mulai terjadi pemberontakan.

Ahli-ahli sejarah menyatakan bahwa pemberontakan itu disebabkan ketidakbijaksanaan Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi menurut saya ada faktor lainnya, yaitu: kebiasaan ambisi para pemimpin daerah atau bupati yang tadinya dikuasai secara paksa sehingga selalu mempunyai keinginan secara merdeka memerintah daerahnya sendiri. Pemberontakan kepada Mataram di jaman Amangkurat yang sangat terkenal adalah yang dilakukan oleh Trunojoyo, anak dari Bupati Cakraningrat di Madura.

Trunojoyo berhasil menguasai Jawa Timur, memindahkan pusat pemerintahannya di Sedayu, lalu ke Kediri, hingga terus mendesak ke arah Barat dan akhirnya menguasai Karto ibukota Mataram.Mataram dikalahkan Trunojoyo sehingga Amangkurat I lari ke Batavia, meminta bantuan Belanda yang merupakan musuh Mataram itu. Amangkurat I menggadaikan harga diri Mataram kepada Belanda, sebab ia tidak mau takluk kepada Trunojoyo.

Tapi Amangkurat I meninggal dan diganti anaknya, Amangkurat II. Lucunya, penobatan Amangkurat II dilakukan oleh Belanda di Batavia. Tidak beda dengan ayahnya, Amangkurat II juga menggadaikan Mataram kepada Belanda dengan menandatangani Perjanjian Jepara tahun 1678, yang isinya:

(1) Amangkurat II diangkat menjadi raja Mataram dan menerima bantuan dari      Belanda;

(2) Belanda berkuasa atas Pelabuhan Semarang dan memiliki hak-hak untuk        berdagang;

(3) Mataram harus mengganti kerugian perang yang diderita Belanda.

Amangkurat selanjutnya bisa kembali ke Jawa Tengah tapi dengan bantuan dan perlindungan Belanda. Lalu Belanda mulai menyerang Trunojoyo, hingga akhirnya terpaksa ia harus menyerah kepada Kapten Jonker di Gunung Willis Jawa Timur. Lalu Trunojoyo diserahkan kepada Amangkurat II, tetapi dengan kejam Amangkurat II membunuh Trunojoyo dengan keris. Sebuah watak biadab yang sama persis dengan watak Sutowijoyo.

Karena Amangkurat II tidak tahan di bawah pengaruh Belanda maka ia meminta bantuan dengan Untung Suropati (Adipati Wironegoro) di Pasuruan (Bangil). Setelah Amangkurat II meninggal maka kekuasannya dilanjutkan Amangkurat III yang juga bekerjasama dengan Untung Suropati dalam menentang Belanda. Pada waktu itulah kekuatan Mataram mulai pecah karena taktik pecah-belah Belanda.

Adik Amangkurat II yang bernama Pangeran Puger dijadikan alat Belanda untuk memecah kekuatan Mataram. Pangeran Puger inilah yang kemudian diakui Belanda menjadi raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I.

Dalam suatu peperangan dengan Belanda di Bangil, Untung Suropati meninggal sehingga kekuatan Amangkurat III lumpuh dan ia menyerah kepada Belanda. Lalu Belanda membuang Amangkurat III ke Srilanka. Dan, Mataram diperintah Pakubuwono I. Sampai pada batas sejarah tersebut, ternyata Nyai Ratu Kidul sama sekali cuek, tidak mempunyai peranan apa-apa dalam menyelamatkan Mataram.

Itulah ironisnya kepercayaan yang telah terlanjur meyakini bahwa ada poros aliansi kekuatan antara Mataram sebagai komunitas manusia dengan Laut Selatan sebagai komunitas lelembut, yang terjalin sejak Mataram diperintah oleh Sutawijaya. Mengapa Mataram dan raja-rajanya (pasca Sultan Agung) bisa sampai bernasib tragis seperti itu? Apa yang kurang, padahal meskipun miskin terjajah oleh asing, masyarakat Jawa tetap loyal kepada Nyai Ratu Kidul untuk selalu memberinya sesajen dan memuja-mujanya setinggi langit, mengimajinasikannya sebagai Sang Ratu yang luhur dan melindungi?

Nyai Ratu Kidul benar-benar tega dan tidak kasihan melihat Amangkurat I yang lari tunggang-langgang mengais bantuan kepada Belanda. Nyai Ratu Kidul begitu tega membiarkan Amangkurat II menandatangani penyerahan sebagian wilayah Mataram kepada Belanda. Nyai Ratu Kidul hanya plonga-plongo melihat Amangkurat III dirantai tentara Belanda dan dibuang ke Srilanka.

Dengan kenyataan itu, pantaskah orang-orang Jawa selalu mengidolakan Nyai Ratu Kidul, memberinya sesajen dan memuja-mujanya?





--o0o--











0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Choose Your Own Language

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © Pebruari 2017 - FRIDA ACEDA - All Rights Reserved
Design by Utak-Atik Mediatama Sumedang